Dari Desa Kembali Ke Desa
Semua berawal dari sebuah hutan yang bernama Trik atau Tarik. Kala itu, sekitar tahun 1292 M, kawasan tersebut masih berupa rimba raya yang lebat. Pepohonan besar memenuhi hutan itu hingga di siang hari pun terasa gelap, dan saat malam menjelang, hutan itu menjadi kian kelam.
Namun ada catatan yang menyebutkan tentang adanya sebagian kawasan hutan Trik yang tak terlindungi oleh pepohonan besar. Hingga saat bulan purnama tiba, cahayanya menerobos masuk menerangi tanah. Lantaran itulah, ada pula yang menyebut hutan tersebut sebagai Tarang Bulang yang kemudian berubah menjadi Trowulan.
Adalah Raden Wijaya yang berinisiatif membuka hutan yang berada di tepi sungai Brantas tersebut menjadi sebuah desa. Ia dibantu orang-orang Madura dan sisa-sisa balatentara Kerajaan Singasari yang setia padanya.
Hingga akhirnya sebagian dari hutan itu menjadi sebuah desa. Para pembangunnya sepakat memberinya nama Majapahit. Ada yang mengatakan nama itu diambil lantaran para pekerja terpaksa memakan buah Maja yang banyak tumbuh disana lantaran kehabisan bekal. Tapi begitu dimakan ternyata rasanya sangat pahit.
Ada pula yang mengatakan, nama itu diambil sebagai gambaran atas kepahitan nasib yang dialami Raden Wijaya saat membuka lahan itu. Tapi apapun latar belakangnya, fakta sejarah menunjukkan bahwa dari desa inilah keagungan kerajaan Majapahit yang menguasai Nusantara hingga ke negara-negara tetangga bermula.
Dari tempat inilah, sebuah kejayaan dipertontonkan. Dari tempat inilah panji-panji kebesaran penguasa Nusantara dikibarkan. Dan dari desa inilah peradaban baru pada masa itu dibangun dan dikembangkan selama hampir dua abad.
Kitab Nagara Krtagama yang ditulis Mpu Prapanca menyebutkan daerah jajahan Majapahit meliputi Jambi, Palembang, Toba, Darmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkau, Siak, Rokan serta daerah lainnya di pulau Sumatera.
Kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa sudah sudah terkuasai semuanya. Di sebelah timur kekuasaannya menyebar mulai dari Bali, Lombok, Bima, Sang Hyang Api, Seram, dan lainnya hingga ke ujung pulau Timor.
Kerajaan-kerajaan di Kalimantan seperti Tanjung, Kapuas, Katingan, Sampit, Kuta Waringin, Kuta Lingga, Sambas, Lawai dan yang lain-lainny juga telah ditaklukkan. Demikian pula dengan kerajaan Makasar, Button, Banggawi, Selayar dan seluruh kerajaan kecil di pulau Sulawesi takluk mengakui kekuasaan Majapahit. Pun dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Kepulauan Maluku dan Papua.
Mpu Prapanca dalam Nagara Krtagama juga menyebut nama kerajaan Siam, Ayodya Pura, Darma Nagari, Marutma dan Yawana yang berada di wilayah Asia Tenggara dan Asia Barat yang bersahabat dengan Majapahit.
Tapi keagungan yang begitu luar biasa itu akhirnya hancur juga. Sejarah mencatat tahun 1527 M sebagai Sadyakalaning atau ujung nasib Majapahit setelah pusat pemerintahan kekaisaran di tanah Jawa itu dihancurkan kekuatan baru dari Demak.
Pada serangan itu, seluruh situs-situs yang menunjukkan jejak-jejak kebesaran Majapahit dihancurkan. Meski tak sampai total, namun yang tersisa hanyalah sebagian kecilnya saja. Hingga sampai saat ini para arkeolog pun kesulitan menemukan pusat keraton Majapahit yang begitu luar biasa itu.
Trowulan kini hanya menjadi sebuah situs yang menyisakan kisah kebesaran Nusantara lama. Dan desa Majapahit yang dulu dibuka dengan cucuran air mata kepedihan, keringat dan darah kini kembali ke sangkan parannya. Kembali menjadi sebuah desa kecil bernama Trowulan yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Mojokerto.
Perjalanan Majapahit memang bak Cakra Manggilingan, roda yang terus berputar hingga akhirnya tetap akan kembali pada permulaannya.
Sang Pemula
Berdirinya Majapahit tak bisa dilepaskan dari sejarah kerajaan-kerajaan besar di Jawadwipa. Khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun keterkaitan terdekat dengan cikal bakal Majapahit adalah Kerajaan Singosari.
Majapahit didirikan lantaran membaranya dendam di dada Nararya Sangrama Wijaya atau Raden Wijaya terhadap raja kerajaan Gelang-Gelang (Gegelang), Jayakatang yang meluluh-lantakkan Kerajaan Singosari yang kala itu dipimpin, Prabu Kertanegara.
Raja terakhir Singosari itu adalah mertua Raden Wijaya. Dalam Kitab Pararaton disebutkan Kertanegara mempunyai dua anak perempuan bernama Tribhuwana dan Dyah Gayatri Rajapatni. Dan keduanya dinikahkan dengan Raden Wijaya.
Namun keterangan tersebut berbeda dengan isi Kitab Negara Krtagama dan Prasasti Suhkarma (1296 M) dan Prasasti Balawi (1305 M) yang mengatakan Kertanegara memiliki empat putri. Yakni Tribhuwana, Dyah Duhita, Dyah Pradnya Paramita dan Dyah Gayatri.
Silsilah Raden Wijaya sendiri juga dipenuhi versi-versi. Menurut Pararaton, Raden Wijaya adalah putra Mahisa Campaka, seorang pangeran dari Kerajaan Singhasari. Sementara itu menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Raden Wijaya adalah putra pasangan Rakeyan Jayadarma, pangeran kerajaan Sunda Galuh dan Dyah Lembu Tal, putri Mahisa Campaka dari Kerajaan Singosari.
Setelah Rakeyan Jayadarma tewas diracun musuhnya, Lembu Tal pulang ke Singosari membawa serta Wijaya. Dengan demikian, Raden Wijaya merupakan perpaduan darah Sunda dan Jawa.
Kisah di atas mirip dengan Babad Tanah Jawi yang menyebut pendiri Kerajaan Majapahit bernama Jaka Sesuruh putra Prabu Sri Pamekas raja Kerajaan Pajajaran, yang juga terletak di kawasan Sunda. Jaka Sesuruh melarikan diri ke timur karena dikalahkan saudara tirinya yang bernama Siyung Wanara. Ia kemudian membangun Kerajaan Majapahit dan berbalik menumpas Siyung Wanara.
Kisah tersebut berlawanan dengan Nagarakretagama. Kitab yang selesai ditulis pada tahun 1365 M itu menyebut Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki, putra Narasinghamurti. Naskah ini memuji Lembu Tal sebagai seorang perwira perang yang gagah berani.
Kembali ke masa akhir Kerajaan Singosari. Setelah kerajaan yang diperkirakan berlokasi di Kecamatan Singosari Kabupaten Malang itu dihancurkan, Raden Wijaya, putri Tribhuwana bersama sembilan orang perwira andalannya melarikan diri ke Sumenep, Madura. Disana mereka berlindung pada kerabatnya yang juga Bupati Sumenep, Aria Wiraraja.
Raden Wijaya pun bersekutu dengan Aria Wiraraja yang juga disebut Banyak Wide. Raden Wijaya bersumpah jika ia berhasil merebut kembali takhta mertuanya, maka kekuasaannya akan dibagi dua, yaitu untuk dirinya dan untuk Wiraraja.
Mula-mula Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya pura-pura menyerah ke Kadiri. Atas jaminan darinya, Raden Wijaya dapat diterima dengan baik oleh Jayakatwang. Sebagai bukti takluk, Raden Wijaya siap membuka Hutan Tarik menjadi kawasan wisata bagi Jayakatwang yang gemar berburu. Jayakatwang mengabulkannya. Raden Wijaya dibantu orang-orang Madura kiriman Wiraraja membuka hutan tersebut, dan mendirikan desa Majapahit di dalamnya.
Pada tahun 1293 datang tentara Mongol untuk menghukum Kertanagara yang berani menyakiti utusan Kubilai Khan tahun 1289. Raden Wijaya selaku ahli waris Kertanagara siap menyerahkan diri asalkan ia terlebih dahulu dibantu memerdekakan diri dari Jayakatwang. Maka bergabunglah pasukan Mongol dan Majapahit menyerbu ibu kota Kadiri. Setelah Jayakatwang kalah, pihak Majapahit ganti mengusir pasukan Mongol dari tanah Jawa.
Akhirnya Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit pada tahun 1294 menurut Nagara Krtagama. Ia bergelar Sanggramawijaya Sri Kertarajasa Jayawardhana. Namun berdasarkan situs forummajapahit.org, Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 1293 M.
Bahkan para ahli sejarah yang mengikuti forum 700 tahun Majapahit pada tahun 1993 lalu menetapkan tanggal 12 November 1293 sebagai Hari Lahir Majapahit. Penetapan ini didasarkan pada keterangan dalam Kidung Harsa Wijaya yang menyebutkan Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja pertama Majapahit pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka atau 12 November 1293 M.
Raden Wijaya meninggal pada tahun 1309 M. Dia meninggalkan dua anak perempuan, yakni Tribuwana Tunggadewi dan Rajadewi Maharajasa. Ia juga mempunyai seorang anak lelaki dari Dara Petak bernama Kala Gemet atau Jayanegara.
Selama masa pemerintahannya, Majapahit menjadi kerajaan yang aman dan tentram meski ada beberapa aksi pemberontakan. Untuk memuliakannya Raden Wijaya dicandikan di Candi Siwa si Simping. Yakni Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan Candi Budha di Anthapura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara yakni persatuan wujud antara Wisnu dan Siwa.
Di Terangnya Surya Peradaban
Sejarah mencatat, puncak keagungan Majapahit tiba tatkala tampuk pemerintahan kerajaan itu dipegang Hayam Wuruk. Ibunya adalah Tribhuwana Tunggadewi, putri Raden Wijaya dari Dyah Gayatri). Sedangkan ayahnya bernama Sri Kerta Wardhana alias Cakradhara. Ia adalah raja Singosari yang saat itu menjadi kerajaan bawahan.
Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Menurut Nagara Krtagama, Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre Pajang, dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk yang berarti ‘ayam yang terpelajar’ itu, Majapahit mengalami kemajuan yang sangat pesat. Wilayah kekuasaannya berkembang dari seluruh Nusantara hingga kerajaan Campa yang berlokasi di Kamboja.
Pada masa itu Majapahit juga banyak memiliki hubungan bilateral dengan kerajaan-kerajaan lain di Asia Tengah dan Asia Tenggara. Misalnya Siam, Ayodya Pura, Darma Nagari, Marutma dan Yawana.
Sebagaimana ditulis dalam Nagara Krtagama, kemakmuran rakyat Majapahit di jaman pemerintahan Hayam Wuruk juga berada hingga titik yang tertinggi. Hal ini tak lepas dari kondusifnya kondisi keamanan wilayah kekuasaannya yang dipercayakan pada Mahapatih Gajah Mada.
Dalam perjalanan pemerintahannya, Hayam Wuruk berniat menikahi puteri Raja Galuh Sunda, Diah Pitaloka Citrasemi. Raja Galuh Sunda, Prabu Linggabuana setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok kerajaan Galuh.
Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak kerajaan Galuh untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit. Kerajaan Galuh menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat.
Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan kerajaan Galuh tewas, termasuk raja dan putrinya. Dan berikutnya Galuh menjadi wilayah Majapahit. ‘Kecelakaan sejarah’ ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.
Peristiwa itu sendiri tidak tercatat dalam Nagara Krtagama karena Mpu Prapanca tak ingin raja yang ia angungkan dalam karyanya tersebut mendapat cela. Hanya Pararaton yang menyebut peristiwa itu terjadi pada tahun 1279 Saka atau sekitar tahun 1357 M.
Sumber referensi lain mengenai kejadian tersebut adalah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Hanya saja dalam naskah tersebut tak ditulis waktu kejadiannya.
Setelah kejadian tersebut Hayam Wuruk menikah dengan sepupunya bernama Dyah Sori yang kemudian bergelar Dewi Indreswari. Ia adalah anak dari bibinya, Dyah Rajadewi Maharajasa yang menikah dengan Raja Wengker yang bergelar Wijaya Rajasa.
Dari pernikahannya dengan Dyah Sori tersebut, Hayam Wuruk memiliki seorang putri bernama Dyah Kusumawardhani. Selanjutnya Kusumawardhani menikah dengan Wikrama Wardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi yang menikah dengan Nagarawardhani, putri Bhre Lasem.
Pemerintahan Hayam Wuruk berakhir pada saat kematiannya pada tahun 1389. Ia pun digantikan menantunya, Wikrama Wardhana. Suksesi inilah yang kemudian memancing pemberontakan Bhre Wirabhumi. Dan sejak saat itu Majapahit terus mengalami masa kemunduran akibat aksi-aksi pemberontakan yang dilakukan keluarga raja-raja.
Sadyakalaning Majapahit
Kehancuran Majapahit kira-kira terjadi pada sekitar tahun 1500-an. Namun ada sebuah khronogram atau candrasengkala bernama Serat Kandha yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini kononnya adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai tahun 1400 Saka atau tahun 1478 Masehi.
Namun berdasarkan Prasasti Padukuhan Duku (Ptak) berangka tahun 1408 Saka (1486 Masehi), candra sengkala itu sejatinya berkisah tentang penyerangan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya dan terbunuhnya Bhre Kretabhumi, bukan tentang kehancuran Majapahit yang selama ini terpasak kuat dalam sejarah resmi.
Kehancuran Majapahit ditandai dengan matinya Bhre Kertabumi atau Prabu Brawijaya V di tangan Dyah Ranawijaya yang kemudian menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya VI. Namun pada saat itu, Dyah Ranawijaya tak mau beristana di Trowulan yang telah hancur lebur dalam penyerangan tersebut. Iapun memindahkan pusat pemerintahannya ke Kediri.
Beberapa sumber sejarah menyebutkan, pada pemerintahan Ranawijaya, Majapahit terus didera perang saudara. Sementara itu kerajaan-kerajaan bawahan yang tersisa juga melepaskan diri dari pengaruh Trowulan.
Sayang tak banyak sumber sejarah tertulis yang mendokumentasikan tentang masa-masa akhir kerajaan Majapahit ini. Bahkan, Serat Pararaton, Serat Kanda, dan Babad Tanah Jawi pun alpa merekamnya. Justru Prasasti Padukuhan Duku (Ptak) dan Prasasti Trailokyapuri I-IV berangka tahun 1408 Saka yang diteliti oleh Djafar-lah yang menandaskannya.
Menurut beberapa literatur sejarah pada umumnya mengaitkan faktor serangan Kerajaan Demak pada tahun 1526 sebagai penyebab kehancuran Majapahit. Hanya saja jika menganalisa rentetan panjang perjalanan Majapahit sejak Hayam Wuruk hingga raja terakhir, sepertinya ada beberapa hal yang dimungkinkan menjadi faktor penyebab sadyakalaning Majapahit.
Pertama, Majapahit memang sedang digerogoti oleh krisis politik akut sebagai dampak perang perebutan kekuasaan antarkeluarga kerajaan. Tragedi yang mulanya disulut oleh Wikramawarddhana (Bhra Hyang Wisesa) dan Bhre Wirabhumi itu ternyata terwariskan secara sempurna hingga ke cucu-cicit mereka.
Sebutlah Bhre Pandansalas yang disingkirkan oleh Bhre Kretabhumi. Kemudian Bhre Kretabhumi pun dikudeta oleh Dyah Ranawijaya. Hingga akhirnya Dyah Ranawijaya dibabat oleh Pati Unus bin Raden Patah dari Demak.
Kedua, perkembangan ekonomi-politik purnacepat di Asia Tenggara telah menggeliatkan gerak perekonomian masyarakat pesisir utara Jawa dan menciptakan bangsawan kaya disana. Berdirinya Demak pun tidak jauh dari konteks ekonomikal ini.
Kerajaan Islam itu dibangun oleh koalisi bangsawan kaya yang sejak jauh hari telah memonopoli akses perdagangan dari dan ke daerah bagian timur nusantara dan Malaka. Jadi, sejak awal memang ada semacam trik embargo ekonomi terselubung atas Majapahit di sana.
Ketiga, dalih syariat perang sabil melawan ‘kerajaan kafir’ Majapahit telah memotivasi para pembesar Demak bersama para penguasa lokal yang sudah masuk Islam di pesisir utara Jawa, seperti Jepara, Tuban, dan Gresik.
Sakralitas dalih itu pun kontan saja dimanfaatkan oleh anak keturunan Raden Patah sebagai momentum balas dendam terhadap Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Sebab, berdasarkan Carita Purwaka Caruban Nagari (1720), Raden Patah, Sultan Demak I, adalah anak Bhre Kretabhumi yang dibunuh oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya
Lelakon Utama
Inilah peristiwa-peristiwa penting yang terjadi selama masa kerajaan Majapahit sejak mula hingga kejatuhannya.
12 November 1293 M : Kerajaan Majapahit berdiri yang ditandai dengan penobatan Raden Wijaya sebagai Raja dengan gelar Srhi Kertarajasa Jayawardana
1295 : Pemberontakan Ranggalawe yang berakhir dengan pertempuran besar di sekitar sungai tambak beras. Dalam peristiwa itu Ranggalawe tewas dalam perkelahian melawan Kebo Anabrang. Dan setelah itu giliran Kebo Anabrang yang dibunuh Lembu Sora (paman Ranggalawe)
1309 : Di tahun itu terjadi banyak peristiwa penting di Majapahit. Diantaranya Pemberontakan Ra Gajah dan Pawagal. Usai menuntaskan aksi pemberontakan itu, Raden Wijaya mangkat. Beberapa saat kemudian Raden Kala Gemet alias Jayanegara ditahbiskan sebagai Raja Majapahit yang bergelar Srhi Sundarapandyadewadhiswara Wikramatunggadewa.
1311 : Pemberontakan Lembu Sora. Ia adalah salah seorang arya Singasari yang setia pada Raden Wijaya. Mulai dari perjuangan melawan Kediri saat menyerang Singosari, menyertai Raden Wijaya melarikan diri ke Sumenep hingga didirikannya kerajaan Majapahit. Atas jasanya itu ia dianugerahi jabatan.
Menurut Pararaton menyebutkan jabatan Sora dalam kerajaan baru tersebut adalah rakryan demung. Keterangan itu berbeda dengan naskah prasasti Sukamreta tahun 1296 yang menuliskan nama Mpu Renteng sebagai rakryan demung Majapahit. Sedangkan Mpu Sora menjabat sebagai rakryan patih ri Daha, atau patih bawahan di Kadiri.
1313 : Pemberontakan Juru Demung. Ia adalah salah seorang orang kepercayaan Lembu Sora. Begitu upaya pemberontakannya gagal, iapun langsung dieksekusi.
1314 : Seorang bekas orang kepercayaan Lembu Sora lainnya, Gajah Biru juga melakukan pemberontakan. Aksi ini diikuti seorang pembesar Kerajaan Majapahit lainnya bernama Mandana. Namun kedua aksi pemberontakan itu berhasil ditumpas semuanya.
1316 : Nambi, mantan Patih Mangkubumi Majapahit pulang untuk menjenguk ayahnya, Pranajaya yang sakit di Lumajang. Tapi akhirnya ia tak mau kembali ke Trowulan dan memilih tinggal di Kota Benteng yang didirikan Aria Wiraraja.
Menurut Pararaton, saat itu Nambi difitnah seorang pejabat istana Majapahit bernama Mahapati. Nambi disebut akan melakukan pemberontakan. Jayanegara pun mengirimkan pasukan ke Lumajang. Nambi pun berhasil dikalahkan dalam pertempuran di Rabut Burahyabang menurut versi Pararaton. Kematian Nambi pada tahun itu disebut dalam Kitab Pararton dan Nagarakrtagama. Nasib tragis pahlawan Majapahit itu juga disinggung dalam Kidung Sorandaka.
Sementara itu nasib Kota Bentengnya juga setali tiga uang. Kota yang menurut Situs Kuto Renon berada di bagian utara Kabupaten Lumajang tersebut luluh lantak. Menurut kesaksian Muhlenfield, sejarawan Belanda yang mengunjungi situs itu pada 1921-1923, kota kuno yang dibentengi dengan enam bastion berketinggian kurang lebih 8 meter tersebut hancur total. Namun ia memperkirakan kehancuran situs abad ke 13 tersebut disebabkan oleh letusan gunung. Analisa ini ada kesusuaian dengan isi Kitab Pararaton yang menyebutkan pada tahun 1316 M terjadi letusan Gunung Lungge.
1318 : Pemberontakan Ra Semi
1319 : Terjadi pemberontakan Ra Kuti, salah seorang anggota Dharmaputraraja. Dalam peristiwa tersebut, pusat pemerintahan Majapahit sempat ia kuasai. Namun Raja Jayanegara berhasil diselamatkan seorang Bekel (pimpinan prajurit istana) bernama Gajah Mada. Ia dilarikan hingga ke desa Bedander di kawasan Bojonegoro.
Pemberontakan Ra Kuti akhirnya bisa ditumpas berkat strategi yang disusun dan diterapkan Gajah Mada. Atas jasanya tersebut Gajah Mada diangkat menjadi Patih di Kahuripan, salah satu negara bawahan Majapahit
1328 : Jayanegara tewas akibat tusukan pisau Ra Tanca, tabib istana.
1328 : Tribhuana Tunggadewi jadi Ratu Majapahit. Ia menikah dengan Cakradara yang kemudian bergelar Kertawardhana.
1331 : Gajah Mada memimpin operasi penumpasan pemberontakan Sedeng dan Keta. Berikutnya ia pun diangkat menjadi Mahapatih Majapahit menggantikan posisi Arya Tadah yang telah berusia lanjut.
1334 : Hayam Wuruk Lahir.
1343 : Ekspansi Militer Majapahit ke Bali, Lombok dan Sumbawa yang dipimpin Mahapatih Gajah Mada.
1347 : Jambi dan kerajaan-kerajaan lain di pesisir timur Melayu ditaklukkan
1347 : Adityawarman, komandan pasukan Majapahit dalam ekspansi ke Bali ditahbiskan sebagai raja bawahan Majapahit di Melayu. Namun akhirnya ia mbalelo dan mendirikan kerajaan Pararruyung.
1350 : Ratu Tribhuana Tunggadewi Lengser Keprabon.
1351 : Hayam Wuruk dinobatkan sebagai Raja Majapahit pada usia 17 tahun dengan gelar Shri Rajasa Negara
1357 : Terjadi Peristiwa Perang Bubat yang menewaskan Raja Sunda Galuh, Linggabuana dan putrinya Dyah Pitaloka Citrasemi. Menurut versi Pararaton, pada tahun itu juga Hayam Wuruk menikah dengan saudara sepupunya sendiri, Dyah Putri Sori.
1357 : Terjadi ekspedisi militer ke Pulau Lombok yang dipimpin Tumenggung Lembu Nala.
1364 : Dalam Negara Krtagama dikisahkan pada tahun itu Mahapatih Gajah Mada meninggal dunia.
1372 : Tribhuana Tunggadewi meninggal dunia. Menurut Pararaton, ia didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386 dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa yang terletak di desa Japan.
1377 : Majapahit menyerang Palembang
1389 : Hayam Wuruk wafat. Ia digantikan menantunya, Wikrama Wardhana
1401 : Terjadi perang Paregreg. Yakni perang antara Wikrama Wardhana yang berkedudukan di Trowulan dengan Bhre Wirabumi, putra Hayam Wuruk dari selir yang berkedudukan di Blambangan. Catatan terjadinya perang ini dicatat dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan dan Serat Blambangan. Peristiwa inilah yang kemudian memunculkan dongeng Damarwulan.
1406 : Akhir pemberontakan Wirabhumi. Ia mati di tangan Raden Gajah atau Btara Narapati. Menurut serat Kanda, kepala Wirabumi dipenggal dan diserahkan pada Wikrama Wardhana. Dikisahkan pula, Bhre Wirabumi dicandikan di Lung bernama Girisa Pura. Setelah Perang Paregreg, Wikrama Wardhana memboyong Bhre Daha, putri Bhre Wirabhumi sebagai selir. Dari perkawinan itu lahir Suhita.
1416 : Laksmana Cheng Ho (Zheng He) berkunjung ke Majapahit.
1427 : Wikrama Wardhana lengser dan ia digantikan putrinya, Dyah Suhita. Ia menikah dengan pangeran Kahuripan, Hyan Parameswara.
1447 : Suhita meninggal dan ia digantikan adik lelakinya, Kertawijaya
1451 : Kertawijaya dibunuh oleh Pangeran Pamotan yang kemudian menjadikan dirinya Raja Majapahit dengan gelar Rajasa Wardhana.
1453 : Pangeran Pamotan mati. Terjadi kekosongan kekuasaan di Majapahit
1456 : Anak Kertawijaya, naik tahta dengan gelar Bhre Hyang Purwawisesaputra. Pada masa pemerintahannya, Majapahit kian melemah. Terjadi banyak bencana alam, perang saudara dan membelotnya kerajaan-kerajaan bawahan dari kekuasaan Majapahit.
1466 : Purwawisesa wafat. Ia digantikan Dyah Suprabawa, raja bawahan di Pandan Alas yang kemudian bergelar Shri Sisingawikramawardhana. Kisah raja-raja Singosari dan Majapahit yang ditulis dalam Kitab Pararaton berakhir hingga disini.
1468 : Bhre Kertabhumi memberontak. Ia berhasil mengusir Sisingawikramawardhana dari Trowulan. Peristiwa terusirnya Sisingawikramawardhana dari Trowulan masih tertulis dalam Kitab Pararaton.
Di daerah pengasingannya di Tumapel dan Dhaha, Sisingawikramawardhana terus melakukan perlawanan terhadap Kertabhumi. Kisah hidupnya ini juga didokumentasikan dalam sebuah prasasti yang ditemukan di Paminthilan yang berangka tahun 1474 yang diperkirakan merupakan tahun kematiannya.
1474 : Setelah Sisingawikramawardhana mati, anaknya yang bernama Dyah Ranawijaya menjadi raja di Kediri dengan gelar Batara Prabu Girindrawardana.
1478 : Bhre Kertabhumi terbunuh di keratonnya dalam penyerangan yang dilakukan Ranawijaya. Kekuasaan Majapahit pun beralih ke tangan Ranawijaya. Sebagian dari keluarga Kertabhumi berhasil lolos dan melarikan diri hingga ke Blambangan.
1517 : Invasi besar-besaran dilakukan kerajaan Demak yang dikomando Patiunus alias Sultan Trenggana terhadap Kediri. Ranawijaya mati dan berakhir pula masa kejayaan Majapahit dan kerajaan Hindu terbesar di Nusantara itu.
Sang Nata
Inilah nama-nama Raja yang pernah memerintah Kerajaan Majapahit sejak dari awal hingga keruntuhannya.
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1526)
Arya Utama
Perjalanan pemerintahan raja-raja Majapahit tak lepas dari peran orang-orang yang ada disekitarnya. Berikut adalah nama para pembesar yang kiprahnya ikut mewarnai Kerajaan Majapahit.
a. Aria Wiraraja
Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya mengisahkan Arya Wiraraja semula menjabat sebagai rakryan demung pada masa pemerintahan Kertanagara di Singosari. Namun karena sikapnya menentang politik luar negeri raja, ia pun dipindahkan menjadi bupati Sumenep. Wiraraja pun merasa sakit hati.
Semasa muda, Wiraraja pernah mengabdi pada Narasingamurti, kakek Raden Wijaya. Maka ia pun bersedia membantu sang pangeran untuk menggulingkan Jayakatwang melalui strategi penyerahan diri yang akhirnya justru berbalik menhancurkan pemerintahan Jayakatwang dengan meminjam kekuatan pasukan Mongol.
Bala tentara Mongol sendiri akhirnya dipukul mundur dan melarikan diri dari tanah Jawa. Dan setelah itu barulah panji-panji kerajaan baru bernama Majapahit dikibarkan di Jawa Timur dan Raden Wijaya menahbiskan dirinya sebagai raja yang pertama.
Menurut prasasti Kudadu (1294), pada awal pemerintahannya, Raden Wijaya memberi Aria Wiraraja jabatan sebagai Pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka.
Namun Pada prasasti Penanggungan (1296) nama Wiraraja sudah tidak lagi dijumpai. Penyebabnya ialah pada tahun 1295 salah satu putra Wiraraja yang bernama Ranggalawe melakukan pemberontakan dan menemui kematiannya.
Peristiwa itu membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia lalu menuntut janji Raden Wijaya, yaitu setengah wilayah Majapahit. Raden Wijaya mengabulkannya. Wiraraja akhirnya mendapatkan Majapahit sebelah timur dengan ibu kota di Lumajang.
Sebagai bukti atas otoritasnya sebagai pihak yang sederajat dengan Raden Wijaya, Wiraraja menyatakan wilayahnya merdeka dari kekuasaan Trowulan. Ia mangkat pada tahun 1307 M di Lumajang.
b. Mahapati
Mahapati adalah nama seorang tokoh penghasut dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit. Namanya disebut dalam Pararaton sebagai pemegang jabatan rakryan patih sejak tahun 1316. Kelicikan Mahapati dianggap sebagai penyebab kematian para pahlawan pendiri Majapahit, misalnya Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi. Mahapati sendiri akhirnya dihukum mati setelah pemberontakan Ra Kuti tahun 1319.
Nama Mahapati terdapat dalam naskah Pararaton dan Kidung Sorandaka. Ia dikisahkan sebagai tokoh licik yang gemar melancarkan fitnah dan adu domba demi meraih ambisinya, yaitu menjadi patih Majapahit.
Pada tahun 1295 Mahapati menghasut Ranggalawe supaya menentang pengangkatan Nambi sebagai patih. Sebaliknya, ia juga menghasut Nambi supaya menghukum kelancangan Ranggalawe.
Akibat adu domba tersebut, perang saudara pertama pun meletus. Ranggalawe akhirnya tewas di tangan Kebo Anabrang dalam sebuah pertempuran di Sungai Tambak Beras. Namun, Kebo Anabrang sendiri juga tewas karena dibunuh dari belakang oleh Lembu Sora, paman Ranggalawe.
Pada tahun 1300 Mahapati menghasut Mahisa Taruna putra Kebo Anabrang supaya menuntut pengadilan untuk Lembu Sora. Mengingat jasa-jasanya selama perjuangan mendirikan kerajaan, Lembu Sora hanya dihukum buang oleh Raden Wijaya, raja Majapahit saat itu.
Mahapati ganti menghasut Sora supaya meminta hukuman yang lebih pantas. Sora pun berangkat ke ibu kota untuk meminta hukuman mati. Di sana ia tewas dikeroyok tentara istana, karena Nambi sudah lebih dahulu dihasut Mahapati, bahwa Sora akan datang untuk membuat onar.
Pada tahun 1316 Mahapati mengadu domba Nambi dengan Jayanagara, raja kedua Majapahit pengganti Raden Wijaya. Suatu ketika Nambi mengambil cuti karena ayahnya di Lamajang meninggal dunia.
Mahapati datang melayat sambil menyarankan supaya ia memperpanjang cuti. Mahapati bersedia menyampaikan permohonan izin kepada raja. Akan tetapi, di hadapan Jayanagara, Mahapati justru mengabarkan bahwa Nambi tidak mau kembali ke Majapahit karena sedang mempersiapkan pemberontakan.
Jayanagara marah dan mengirim pasukan untuk menghancurkan Lamajang. Nambi sekeluarga pun tewas. Mahapati kemudian diangkat sebagai patih baru sesuai dengan cita-citanya.
Pada tahun 1319 terjadi pemberontakan Ra Kuti. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh seorang Bekel Bhayangkari bernama Gajah Mada yang kemudian menjadi abdi kesayangan Jayanagara.
Setelah pemberontakan Ra Kuti, hubungan antara Jayanagara dengan Mahapati mulai renggang. Akhirnya, semua kejahatan yang pernah dilakukan Mahapati pun terbongkar. Ia kemudian dihukum mati dengan cara cineleng-celeng, artinya ‘dicincang seperti babi hutan’.
Tokoh Mahapati hanya ditemukan dalam naskah Pararaton dan Kidung Sorandaka. Istilah maha bermakna "besar", sedangkan pati bermakna "penguasa". Maksudnya ialah "orang yang memiliki ambisi besar untuk menjadi penguasa". Hal ini menunjukkan, nama Mahapati bukanlah nama asli, melainkan nama julukan.
Nama Mahapati tidak dijumpai dalam prasasti apa pun, sehingga diduga merupakan nama ciptaan pengarang Pararaton. Nagarakretagama yang juga berisi sejarah Kerajaan Majapahit hanya mengisahkan kematian Nambi secara singkat tanpa menjelaskan apa penyebabnya.
Pararaton mengisahkan Mahapati menjadi patih setelah kematian Nambi tahun 1316. Sejarawan Slamet Muljana menganggap Mahapati identik dengan Dyah Halayudha, yaitu nama patih Majapahit yang tertulis dalam prasasti Sidateka tahun 1323.
Apabila dugaan Slamet Muljana benar, maka tokoh Mahapati alias Halayudha bukan orang biasa, namun masih keluarga bangsawan. Hal ini dikarenakan gelar yang ia pakai adalah dyah yang setara dengan raden pada zaman berikutnya.
Misalnya, pendiri Majapahit dalam Nagarakretagama disebut Dyah Wijaya sedangkan dalam Pararaton disebut Raden Wijaya. Sementara itu Nambi dan Sora yang dalam prasasti Sukamreta hanya bergelar mpu.
Dengan demikian dapat dipahami mengapa Halayudha sakit hati ketika Nambi dan Sora yang bukan dari golongan bangsawan namun memperoleh kedudukan tinggi, masing-masing sebagai patih Majapahit dan patih Daha. Ia pun melancarkan aksi fitnah dan adu domba sehingga satu per satu para pahlawan pendiri kerajaan tersingkir.
Pengarang Pararaton mungkin tidak mengenal nama asli tokoh licik yang menyingkirkan Ranggalawe, Sora, dan Nambi sehingga ia pun menyebutnya dengan nama Mahapati atau sang "penguasa besar".
c. Gajah Mada
Ia adalah salah satu tokoh besar pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut berbagai kitab dari zaman Jawa Kuno, ia menjabat sebagai Patih (Menteri Besar), kemudian Mahapatih (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.
Sayang sekali asal-usul Mahapatih Gajah Mada yang sangat mashyur ini belum jelas diketahui,baik meyangkut nama orang tuanya maupun tempat serta tahun kelahirannya. Muhammad Yamin dalam bukunya yang berjudul Gajah Mada mengungkapkan tokoh ini dilahirkan di aliran sungai Brantas yang mengalir ke Selatan diantara kaki gunung Kawi-Arjuna dan diperkirakan sekitar tahun 1300 M.
Menurut Pararaton, Gajah Mada memulai karirnya di Majapahit sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara. Karena berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) dan mengatasi Pemberontakan Ra Kuti, ia diangkat sebagai Patih Kahuripan pada tahun 1319. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.
Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya.
Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya takluk. Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai Patih Majapahit.
Pada waktu pengangkatannya, ia mengucapkan Sumpah Palapa. Inilah bunyi sumpahnya sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton
Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa
Secara harafiah, teks itu berarti ‘Saya Patih Amungkubumi Gajah Mada tak akan menikmati rempah-rempah (kenikmatan hidup). Sebelum aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa. Sebelum menaklukkan Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik, aku takkan mencicipi palapa.
Walaupun banyak orang yang meragukan sumpahnya, namun Patih Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Namun kisah kepahlawanannya ternoda oleh peristiwa perang Bubat yang menewaskan Raja kerajaan Sunda Galuh dan putrinya, Dyah Citrasemi Pitaloka.
Ada spekulasi bahwa akibat peristiwa itu Gajah Mada di non aktifkan dari jabatannya. Jika menilik data-data sejarah hampir tak ditemukan adanya peristiwa besar di Majapahit yang terjadi sejak Perang Bubat hingga Kitab Nagarakretagama menuliskan tentang meninggalnya Patih Gajah Mada sepulang Hayam Wuruk dari perjalanannya ke Lumajang.
Kitab Nagarakretagama mencatat Gajah Mada meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi. Namun tak ada kisah tentang tempat ia disemayamkan mengingat ia adalah salah Pahlawan besar Majapahit.
Hal ini diakui NegaraKretagama yang menyebutkan Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja pun menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo pada Gajah Mada.
Kisah akhir Gajah Mada memang seburam asal-usulnya. Ada sumber yang mengatakan Gajah Mada menghilang secara misterius pada tahun 1364 M seperti kabar kematiannya yang ditulis Negara Kretagama.
Tapi ada juga data tak resmi yang mengatakan Gajah Mada dimakamkan di Lampung. Hanya saja mayat yang ada di makam tersebut belum pernah diteliti apakah benar telah berumur 800 tahun.
Kemudian ada yang berspekulasi bahwa makam di lampung adalah pusara kosong yang sengaja dibuat Gajah Mada agar Majapahit tidak mencari dia lagi. Setelah itu Gajah Mada bergabung dengan Adityawarman yang telah menjadi penguasa Kerajaan Pagaruyung, Kerajaan Dharmasraya, Jambi, dan Palembang.
Ada juga sumber yang berspekulasi bahwa Gajah Mada memimpin ekspedisi ke seberang lautan hingga ke Madagaskar pada tahun itu, dan membuat pusara di lampung dengan alasan seperti diatas.
Asal muasal pulau tersebut memiliki nama Madagaskar, diperkirakan ada hubungannya dengan Mahapatih Gajah Mada. Penduduk asli pulau itu, etnis Merina dan Betsileo, mirip dengan penduduk asli pulau Jawa.
Sementara itu, sebagian masyarakat Lamongan, khususnya warga desa Cancing, Kecamatan Ngimbang meyakini adanya makam Gajah Mada disana. Tepatnya di perbukitan kapur yang ditumbuhi belukar cukup lebat.
Disana banyak ditemukan situs-situs yang berkaitan dengan Gajah Mada, sesuai dengan namanya yang artinya Ksatria dari Modo. Modo sendiri merupakan sebuah desa dan kecamatan kecil di dekat Ngimbang dan Bluluk di Kabupaten Lamongan.
Awalnya situs-situs ini tidak terawat, bahkan terkesan angker. Di Gunung ini juga terdapat makam yang diyakini kuat sebagai makam Ibunda Gajah Mada, sekaligus juga situs keluarga Gajah Mada, paling tidak petilasannya. Mulai dari makam ibundanya, candi petirtan atau tempat mandi, hingga tempat penggembalaan.
Di sekitar bukit ini juga banyak ditemukan makam-makam kuno. Semuanya masih terawat dengan baik. Tapi ada pula yang menyebut situs-situs tersebut adalah makam para prajurit Majapahit dan tentara Tuban yang tewas dalam pertempuran di masa pemberontakan Ronggolawe pada tahun 1295 M.
Dibalik semua kisah buram tentang masa-masa akhir pengabdian Gajah Mada, namun posisinya tetap tak tergantikan. Setelah kabar kematiannnya sebagaimana disebutkan dalam Nagara Krtagama, Raja Hayam Wuruk menggelar rapat yang melibatkan Dewan Pertimbangan Agung Majapahit untuk mencari pengganti Gajah Mada.
Akan tetapi tak satupun pejabat setingkat perwira maupun menteri yang dipandang layak untuk menggantikannya, maka diputuskan bahwa Gajah Mada tak akan diganti. Raja Hayam Wuruk pun menjabat ganda, sebagai raja sekaligus patih amangkubhumi.
Dalam menjalankan pemerintahannya, ia dibantu enam menteri baru sebagaimana tertulis dalam Nagara Krtagama. Yakni Empu Tandi sebagai wreddha menteri (menteri sepuh); Empu Nala sebagai menteri amancanagara dengan pangkat tumenggung; Pati Dami diangkat sebagai yuwa menteri (menteri muda).
Disebutkan pula, Hayam Wuruk menunjuk Mpu Singa sebagai saksi dalam segala perintah raja atau bisa disamakan dengan menteri sekretaris negara. Serta dua orang menteri lagi yang namanya tak disebutkan. Dalam pupuh 72 itu hanya dijelaskan kedua menteri tersebut bertugas membantu raja dalam urusan perdata.
Jabatan patih amangkubhumi tidak terisi selama tiga tahun. Baru pada tahun 1367 akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Dyah Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.
Nagarakretagama pun tak sempat menuliskan Gajah Enggon karena selesai ditulis tahun 1365. Yang diketahui bahwa ia menjabat patih selama 27 tahun, mangkat pada tahun 1398 M, lalu digantikan oleh Gajah Lembana.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar